FS0rUvwNhKY1VI33jRo60ZGXhoIL0Jyi24sdcC2i

Merawat Diri Dengan Self Acceptance di Era Pasca Pandemi COVID-19


 

Sejak awal munculnya COVID-19 di Wuhan, China, virus ini sudah menjadivirus yang mematikan dan  merambah ke seluruh  wilayah di dunia termasuk Indonesia. Dilansir dari Kompas.id (2020), Presiden Indonesia mengumumkan secara resmi kasus COVID-19 di Indonesia tanggal 2 Maret 2020 di Istana Negara. Virus tersebut terus menyebar ke seluruh wilayah Indonesia  sehingga banyak memakan korban jiwa. Kehadiran COVID-19 di masa pandemi saat ini, membuat semua orang beralih melakukan hal-hal baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Salah satu kebijakan yang diterapkan di beberapa negara, termasuk pemerintah Indonesia yaitu social distancingSocial distancing merupakan program yang bertujuan untuk mencegah sedini mungkin tertularnya COVID-19 (Pratama & Hidayat, 2020). Social distancing tersebut membuat semua lapisan masyarakat yang dulunya beraktivitas di luar rumah  harus melakukan aktivitas dari rumah. Hal baru tersebut diterapkan dalam hampir  seluruh bidang seperti pemerintahan, pendidikan, ekonomi, hiburan dan lain-lain. Penerapan social distancing dilakukan dengan cara bekerja di rumah (work from home), belajar dirumah dan beribadah dirumah. Dari hal tersebut mau tidak mau masyarakat harus membiasakan diri dekat dengan dunia yang serba digital, termasuk kalangan pelajar dan mahasiswa dengan sebutan study from home.

Pelajar dan mahasiswa merupakan kelompok usia yang  tergolong remaja. Remaja itu sendiri memiliki pengertian yaitumasa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan pola pikir (Santrock, 2010). Mahasiswa sendiri termasuk kedalam remaja akhir yang berusia 18-21 tahun. Oleh karena itu, remaja memegang peranan penting dalam penggunaan media digital. Pasalnya mereka mengikuti proses belajar mengajar dengan sistem online atau daring (dalam jaringan). Mereka mesti mumpuni dalam menggunakan media digital, termasuk dalam bermedia sosial. Penulis menilai bahwa hal besar yang tersisa dari masa pandemi adalah pengaruh media sosial. Artinya, penggunaan media sosial yang intens akan dapat dijumpai meski masa pandemi telah usai. Hal itu terjadi karena adanya adaptasi penggunaan media digital yang berakhir menjadi sebuah kebiasaan. Survey Hootsuite menyatakan bahwa pengguna media sosial aktif pada tahun 2021 di Indonesia sebanyak 170  juta atau sekitar 61,8% dari jumlah populasi di Indonesia. Dilansir dari Kompas.id (2021), Fransiska Desiana Setyaningsih MS menyebutkan bahwa pengguna aktif media sosial di Indonesia pada tahun 2021 naik 6,3 persen dari total pengguna media dengan pengguna media sosial paling banyak berada pada uia 25 sampai 34 tahun, disusul kelompok usian 18 sampai 24 tahun. Disisi lain, laporan Napoleon Cat melaporkan pengguna instagram di Indonesia pada Januari 2022 ada 104.175.200 pengguna. Mayoritas dari mereka adalah wanita sebanyak 54%. Pengguna instagram terbesar berasal dari kelompok usia 18-24 tahun, dimana usia tersebut merupakan usia remaja akhir. Penggunaan media sosial yang positif diharapkan dapat meningkatkan produktivitas penggunanya. Akan tetapi, tidak semua hal yang ditampilkan media sosial termasuk instagram dapat memberikan dampak positif. Dapat dilihat bahwa tidak sedikit penggunaan instagram digunakan untuk ajang memamerkan sesuatu dengan memposting barang yang mahal atau badan bagus beserta wajah yang cantik.

           Media sosial menyajikan ragam informasi yang dapat diakses kapan saja. Bahkan, untuk mengaksesnya pun dapat dikatakan mudah. Dari persentase yang telah di jelaskan di atas menjelaskan bahwa kelompok remajalah yang paling banyak dalam penggunaan media sosial yaitu instagram. Di karenakan remaja dasarnya masih labil dilihat berdasarkan mental dan perilakunya yang mempunyai rasa penasaran yang lebih tinggi di bandingkan kelompok dewasa. Masa pencarian jati diri terjadi pada masa remaja. Bahkan tak jarang identitas mereka dapat ditemui dengan mudah di media sosial. Di masa remaja banyak terjadi eksplorasi dan pembentukan identitas berdasarkan hasil eksplorasi mereka (McLeod, 2008). Seorang  remaja dapat mempresentasikan dirinya kepada orang lain dengan cara membagikan video dan foto melalui media sosial, termasuk instagram (Mafazi & Nuqul, 2017). Hal tersebut membuktikan bahwa media sosial menjadi ruang keterbukaan bagi remaja dalam menunjukkan siapa dirinya (Ayun, 2015). Namun, penulis sangat menyayangkan dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental remaja. Remaja yang memiliki intensitas banyak dalam menggunakan media sosial dikhawatirkan mengalami “penggerusan” identitas diri akibat tampilan media sosial yang cukup menarik. Melihat teman sejawat yang kaya, sukses di usia muda, atau bahkan terlihat “lebih” dari dirinya, dikhawatirkan akan menimbulkan self comparison akibat kekurangan dan merasa rendah dari temannya.

Remaja cenderung membandingkan diri dengan orang lain ketika orang lain memiliki kelebihan dibandingkan dengan dirinya. Sehingga ketika remaja mendapatkan suatu kondisi tidak menyenangkan atau tidak sesuai, remaja akan merasa rendah diri (Conscmovement, 2019). Hal ini senada dengan Fernanda (dalam Parapuan.co, 2021) menyatakan bahwa membandingkan diri dengan cara membandingkan kelebihan orang lain dengan kekurangan diri sendiri akan menimbulkan perasaan insecure, rendah diri, serta merasa tak berguna. Insecure tersebut muncul karena membandingkan diri sendiri dengan orang lain, sehingga timbul rasa rendah diri dan menjelekkan diri sendiri.Maksud dari penggerusan identitas disini ialah remaja seakan akan bertopeng pada kehidupan orang lain yang mereka lihat dari media sosial sehingga perasaan merasa kurang akan terus  menghantui diri mereka. Identitas pribadi mereka sebagai “aku” atau “saya”dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki tidak dapat mereka hayati secara penuh. Oleh karena itu, mereka dikhawatirkan tumbuh menjadi individu yang low self acceptance atau kurangnya penerimaan diri. Self acceptance atau penerimaan diri adalah suatu kondisi yang menggambarkan sikap positif seseorang terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri disertai rasa puas dalam menerima diri apa adanya (Oktaviani, 2019). Resty (dalam Oktaviani, 2019) menjelaskan bahwa kemampuan remaja dalam menerima kekurangan dan kelebihan dirinya dibarengi dengan apresiasi diri secara penuh akan mempengaruhi sikap penerimaan diri, dimana hal ini dapat diartikan bahwa remaja tersebut mempunyai harga diri yang baik.


Masa remaja yang penuh dengan pencarian jati diri tersebut membuat sebagian remaja lupa akan kesempurnaan tubuh yang sudah mereka miliki akibat dari fokusnya mereka dalam melihat perbedaan mencolok di media sosial. Allah SWT sudah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya. Hal ini tentunya harus menjadi pengingat bagi remaja bahwa segala yang sudah Allah anugerahkan harus di terima dengan penuh syukur. Remaja perlu menyadari bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Artinya, mereka perlu menerima sifat baik dan buruk diri sendiri. Maka dari itu, wujud dari penerimaan diri terhadap anugerah beserta kondisi yang menyertainya hendaknya dilakukan dengan cara  menerima, menghayati, dan menjaga keberadaannya sehingga dengan self acceptance tersebut diharapkan remaja dapat memiliki mental yang sehat agar mencapai meaning of life tanpa hambatan dari diri sendiri.

Artikel Terkait

Artikel Terkait

Posting Komentar